KAMAR SAYA DIKETUK 50 KALI SEHARI - Ridha Afzal

Hidup dari keluarga sederhana. Sambil bekerja sebagai Guru, Orangtua kami juga  menikmati kebutuhan hidup dari hasi cocok tanam. Kami punya perkarangan yang untuk ukuran desa, memang cukup lah. Sayur-sayuran, buah-buahan, boleh dibilang tidak perlu beli. Kami tinggal di Pidie, salah satu kota di Aceh.

Saya lulus Program Profesi tahun lalu. Dibanding teman-teman, saya terhitung sangat beruntung. Alhamdulillah. Apa yang saya alami, bahkan sejak di bangku SMA, tidak banyak bisa dinikmati oleh teman-teman seusia saya. Betapa tidak? Selama masa SMA saya bisa sekolah di Pondok Pesantren yang bagi saya sebagai bekal yang sangat baik. Selain tentu saja murah. Yang paling penting lagi adalah fondasi Agama Islam, sebagaimana rata-rata orang Aceh.

Menekuni profesi Keperawatan sebenarnya bukan pilihan utama waktu itu. Tetapi sepertinya sudah menjadi garis hidup saya. Lewat pendidikan profesi ini, malah saya bisa sambil kerja bahkan saat masih di bangku kuliah. Saya terbiasa hidup mandiri. Meski dapat dukungan dan bantuan finansial dari orangtua, namun Alhamdulillah saya tidak manja karenanya. Sambil kuliah, saya pernah membuat Kue Bolu pada dini hari sebelum Fajar, sudah siap dan saya taruh untuk dijual di Warung-warung Kopi di kota Banda Aceh.  Subhanallah…Allah SWT Maha Kaya, memberikan kekayaan berfikir kepada hambaNya seperti saya untuk bisa mensyukuri nikmatNya, dengan belajar sambil jualan.

Jujur saja, saya dapat pemasukan yang lumayan besar untuk ukuran mahasiswa. Membuat Kue Bolu, saya butuh modal: kemauan, tenaga, waktu serta kedisiplinan. Pagi-pagi sekali sebelum berangkat kuliah, saya sudah keliling ke warung kopi di Banda, kemudian berangkat ke kampus. Siang hari saya ngecek ke warung untuk ambil duit. Pada sore atau malam harinya, saya belanja, dan mengambil sisa kue yang tidak terjual. Alhamdulillah, rata-rata kue saya habis.

Namun tidak lama, Rupanya Allah SWT mempunyai rencana lain lain yang lebih baik bagi hambaNya. Selang beberapa bulan, saya mendapatkan panggilan di Pondok Pesantren. Di sana, saya mengabdi. Sambil tetap belajar, saya ngajar ngaji adik-adik, juga membantu kelola Klinik Pondok Pesantren, meski status masih mahasiswa. Hitung-hitung sambil mempertajam pegetahuan, keterampilan serta pengalaman.  Dengan jumlah Santri sekitar 1000 lebih, tentu tidak sedikit yang harus kami perhatikan dan kerjakan dari sudut pandang kesehatan.

Makan dan pondokan gratis, serta uang saku saya tidak pernah repot. Kalau soal kesibukan, jangan tanya! Right after Salat Fajar, anak-anak Santri yang mayoritas berumur sekitar 13-18 tahun, sudah ramai aktivitasnya. Klinik kami non-stop 24 jam. Makanya jangan heran, pintu kamar kami biasa diketuk lebih dari 50 kali sehari.

Namanya juga anak-anak. Banyak yang baik, banyak pula yang nakal. CCTV bukan menjadikan mereka takut atau hati-hati. Malah sebaliknya, mereka jadikan bahan ‘ledekan’. Artinya, sengaja mereka tunjukkan kenakalan lewat camera CCTV bahwa mereka ‘susah diatur’. Dengan maksud agar dikeluarkan dari pondok. Bagi anak-anak kategori ‘nakal’ ini, hidup di Pondok Pesantren sangat menyiksa. Saya, bersama teman-teman perawat lain, merangkap peran macam-macam. Bukan cuma petugas kesehatan semata. Kami perawat, merangkap sebagai pegawas, ustadz, satpam, guru ngaji dan lain-lain. Pendek kata, kayak Gado-gadolah!

Anyway, saya enjoy saja. Pesantren punya dunia sendiri dalam album kehidupan saya.  Intinya, meski masih berstatus sebagai mahasiswa, banyak hal yang bisa saya pelajari saat kerja di Pondok. Bukan hanya dalam segi agama, social, kesehatan serta ekonomi saja. Namun juga banyak belajar manajemen, leadership skills serta moral value.

Saya kuliah di sebuah kampus kelas menengah di Banda Aceh. Akreditasiya masih merangkak. Fasilitas yang kami miliki jauh dari sempurna. Kualitas input kami, juga boleh dikata rata-rata. Ukom tahun lalu hanya sekitar 10% yang lolos. Menurut saya, bukan karena kami tidak pintar, tetapi karena system yang kurang tepat dalam proses belajar mengajar kami. Akibatnya, seperti inilah yang dialami teman bukan hanya di kampus kami ini.

Bersyukurnya, saya bisa aktif dalam banyak kegiatan kemahasiswaan. Dalam setiap kesempatan  saya sering terlibat dalam berbagai kegiatan mahasiswa se-Indonesia. Bukan mustahil, inilah sisi positif yang saya peroleh di luar kampus. Berbagai pelatihan mendongkrak kompetensi saya non-profesional. Inilah kenikmatan lain yang Allah SW limpahkan kepada saya selain Pondok Pesantren peluang kerja, bisa Ngaji juga ngajar.

Tidak berlebihan, saya sebagai mahasiswa merasa, sungguh sibuk…….

Selama 5 tahun kuliah di keperawatan, saya rasakan amat lama utuk level sarjana.  Ada beberapa ketimpangan yang perlu mendapatkan pembenahan dalam hal kurikulum serta manajemen pendidikan profesi ini. Beberapa yang bisa saya sebut adalah lama pendidikan, jumlah dan isi mata kuliah, kualifikasi dosen, lahan praktik, batas-batas kewenangan mahasiswa, proses ukom, system perolehan STR, peluang kerja di dalam hingga ke luar negeri. Sebagai mantan aktivis mahasiswa, saya cukup prihatin dengan semua kondisi ini. Tapi apa mau dikata? Saya hanya seorang Ridha Afzal yang tidak memiliki kemampuan apa-apa di level birokrasi, kecuali mengeluh dalam masalah ini.

Bagaimanapun, sebagai pribadi, saya tetap memiliki optimisme. Meski tidak mampu mengubah sistem, saya bisa ubah diri sendiri. Itulah yang sedang saya perjuangkan. Dan saat saya tulis artikel ini saya berada di Jawa. Bukan karena tidak cinta dengan Aceh. Namun saya ingin seperti yag diajarkan oleh Imam Syafii. Bahwa jika ingin berubah, hijrahlah!

Malang, 24 February 2019
Ridha Afzal

0 Response to "KAMAR SAYA DIKETUK 50 KALI SEHARI - Ridha Afzal"

Posting Komentar