PENGAKUAN MANTAN KETUA ILMAKA: SERTIFIKAT BTCLS ANTARA KEBUTUHAN DAN KOMERSIALISASI - Ridha Afzal

Aku sadari, hidup sesudah menyelesaikan kuliah adalah kehidupan yang sesungguhnya. Selama kuliah, aku hidup penuh dengan idealisme, cita-cita serta sejuta harapan. Realitanya sungguh beda dengan apa yang aku hadapi saat ini. Terutama tentang peluang kerja dan kesejahteraan.

Dari awal aku ingin kerja di luar negeri. Itupun tidak gampang. Karena syarat yang aku harus penuhi adalah punya pengalaman. Sementara untuk mendapatkan pengalaman di Indonesia, aku butuh beberapa lembar dokumen. Tidak terkecuali sertifikat BTCLS. Sertifikat ini memang bukan surat sakti sekelas STR, namun banyak dibutuhkan, khususnya kerja di RS, industri, pertambangan, bahkan di homecare. Tanpa sertifikat BTCLS, surat permohonan kawula muda yang baru lulus sepertiku, bisa kandas. Boleh jadi dibuang di bak sampah oleh HRD.

Di Aceh, saat aku masih menyelesaikan program Profesi, mahasiswa harus rogoh Rp 3.5 juta untuk mengikuti BTCLS. Sebuah angka yang cukup mahal bagi sebagain besar mahasiswa. Padahal, jika kami telaah, BTCLS itu, dari singkatannya saja, tertulis ‘Basic’ yang artinya ‘Dasar’. Padahal saat kuliah sudah mendapatkan materi Gawat Darurat dan Kritis yang kadarnya jauh di atas ‘Basic’.

Materi Gawat Darurat kami dapatkan selama 1 semester (3 SKS) dan 2 semester Keperawatan Kritis (5 SKS), total 8 SKS. Dalam 1 SKS 8 kali pertemuan, @ 2 jam. Totalnya 8 x 8 x 2 jam = 128 jam. Sementara, BTCLS hanya 3 hari @ 8 jam maksimal, berarti 24 jam. Jadi, pelatihan BTCLS hanya 18,75% dari kuliah Gawat Darurat dan Kritis kami.

Logikanya, hal ini dijadikan bahan refleksi bagi kampus. Bahwa, mahasiswanya tidak perlu mengikuti pelatihan BTCLS untuk memperoleh sertifikat yang nilanya hanya tingkat ‘Dasar’.

Kampus bisa mengirim dosen-dosennya untuk menjadi Trainer BTCLS jika itu yang dikehendaki, yang biayanya lebih murah. Dengan demikian, sesudah menyelesaikan mata kuliah Gawat Darurat, mereka bisa mengantongi sekaligus Sertifikat BTCLS. Ini sangat praktis, murah serta menguntungkan, bukan hanya mahasiswa. Tetapi juga dosen, kampus, orangtua, hingga lapangan kerja. Kalau perlu, jangan hanya sertifikat BTCLS, juga K3, Homecare, Perawat Luka, biar penuh dengan sertifikat.

Kenapa tidak?

Mungkin sudah ada kampus yang berfikir demikian, tetapi aku tidak pernah melihatnya. Kampus rata-rata mengundang penyedia pelatihan BTCLS yang sangat mahal yang dibebankan kepada mahasiswa. Kampus jarang memikirkan bagaimana mahasiswa berjuang sesudah kuliah agar dapat mengantongi sertifikat BTCLS.

Saat ke Malang akhir Februari 2019 lalu, biaya pelatihan BTCLS di sebuah RS terbesar di sana hanya Rp 1.2 juta, atau hanya 30% dari biaya yang kami keluarkan di Aceh.

Tapi siapa yang peduli?

Teman-teman ILMAKA, ILMIKI sudah saatnya kita berfikir kritis. Berilah masukan kepada kampus-kampus untuk menyelenggarakan pelatihan BTCLS dengan trainer dari dosen-dosen anda sendiri. Dosen-dosen banyak yang sudah mengambil jurusan Medikal-Bedah yang otomatis mahir dalam persoalan ini.

Kalau ada aturan bahwa kampus bukan Training Organizer, itu terlalu mengada-ada. Kampus kapasitasnyas jauh di atas sebuah lembaga pelatihan. Kampus memiliki banyak fasilitas yang tidak dimiliki oleh lembaga pelatihan. Kalaupun penyelenggara BTCLS dari RS dengan alasan trainernya adalah orang lapangan, kampus punya dosen-dosen yang ilmu dan keterampilannya juga bisa diandalkan.

Ringkasnya, tidak ada alasan yang bisa diterima oleh mahasiswa bahwa kampus tidak bisa memberikan pelatihan BTCLS serta memberikan sertifikatnya. Kecuali kepada alumni yang sudah berada di luar kampus. Silahkan alumni mencari lembaga pelatihan sendiri sesuai selera serta tempat tinggalnya.

Namun selama masih berstatus mahasiswa, kampus memiliki tanggungjawab moral guna meringankan beban mental dan ekonomi mahasiswanya. Dengan demikian, sesudah wisuda, alumni tidak repot mendapatkan kerjaan, hanya karena selembar sertifikat yang bernama BTCLS.

Kalau bukan tugas kita, mahasiswa, dosen serta kampus secara keseluruhan, lantas siapa yang akan memikirkan ribetnya dana untuk bayar BTCLS yang makin tahun aku yakini makin membengkak dana yang dibutuhkan?

Malang, 19 Maret 2019

*Penulis adalah mantan ketua Ikatan Lembaga Mahasiswa Keperawatan Aceh (ILMAKA) periode 2016-2018 dan Alumni S1 Keperawatan STIKes Harapan Bangsa, Banda Aceh


0 Response to "PENGAKUAN MANTAN KETUA ILMAKA: SERTIFIKAT BTCLS ANTARA KEBUTUHAN DAN KOMERSIALISASI - Ridha Afzal"

Posting Komentar