MENDOBRAK JERUJI PENJARA PROFESI DARI SERAMBI MAKKAH

‘Aku bukan yang terbaik. Tetapi aku ingin lebih baik’. Itulah sebuah prinsip hidup sederhana yang setiap pemuda Aceh impikan. Tidak berlebihan jika kemudian aku ingin beda dari yang lain. Bukan berarti aku lebih baik dari mereka. Aku hanya ingin buktikan pada diri ini, bahwa hidup sejatinya banyak pilihan yang bisa kita buat.

Dari awal, saat masih duduk di bangku SMA, aku ingin ikut program belajar ke Turki. Sayangnya, Mamak tidak mengizinkan. Dalam do’anya, beliau belum ikhlas ketika niat ke Turki aku wujudkan. Padahal, Passport sudah di tangan. Aku juga sudah siapkan belajar serta ikut kursus bahasa Turki dan TOEFL. Alhasil, rencana Allah SWT memang lebih indah. Aku pun pasrah.

Dalam perjalanannya, pandangan Mamak tentang dunia dan diriku tidak pernah aku sangka, ternyata mulai berubah.

Pada suatu hari, kami berempat, putra-putri beliau, dipanggil oleh beliau, sesaat sesudah beliau datang dari mengikuti rapat-rapat kerja di Jawa, hingga Malaysia. Mamak kami seorang Guru. Namun jangan salah sangka. Guru di Aceh tergolong conservative walaupun tidak semuanya. Kami dari Sigli, daerah pinggir di provinsi Aceh, yang masih kuat memegang adat. Adalah tanggungjawab kami sebagai anak-anak untuk patuh terhadap orangtuanya. Aku termasuk yang tidak ingin melukai hati beliau.

Di hadapan kami, beliau meminta maaf, karena selama ini tidak memberikan ‘kebebasan’ kepada anak-anaknya untuk bisa ‘melanglang’ melihat jendela dunia. Haru bercampur bangga kami anak-anaknya mendengarkan ungkapan tulus hati seorang Ibu. Kami sungguh bersyukur memiliki beliau yang beberapa hari lalu mendapat amanah untuk menjadi seorang Kepala Sekolah. Sebuah jabatan yang beliau tidak pernah inginkan.

Tiga pekan terakhir ini aku tinggal di perantauan. Bukan karena apa. Akan tetapi sebagaimana pesan Mamak, bahwa aku harus berubah. Tiada hari tanpa chatting dengan beliau. Aku rasakan kehangatan meski secara fisik tidak lagi bersama beliau. Aku kirimkan foto-foto selfie, saat makan, saat istirahat, saat belajar, hingga saat berjalan layaknya orang berwisata.

Apa yang aku alami, juga dialami oleh ribuan perawat muda Aceh yang untuk, jangankan pergi ke luar negeri, untuk ke Jawa saja, belum tentu diizinkan oleh Mamak Bapaknya. Mereka menghadapi kendala profesional begitu besar dari dalam diri mereka sendiri. Itulah yang menyebabkan generasi muda nursing Aceh agak tersendat dalam perolehan kesejahteraannya.

Di rumah sakit milik Pemerintah terbesar saja di Banda Aceh, lebih dari 50% berstatus pegawai tidak tetap alias sukarelawan. Belum lagi yang magang di Puskesmas, tenaga honor di klinik swasta dan lain-lain yang non-profesi, tidak terhitung jumlahnya. Generasi muda nursing kami ingin berontak terhadap keadaan namun tidak tahu bagaimana harus memulai, karena kendala terbesar dimulai dari keluarga sendiri.

Semalam, aku bertemu dengan beberapa orang senior yang telah melanglang dunia. Ada Bapak Irwan dosen Pasca Sarjana di Unsyiah yang pendidikan awalnya sebagai Perawat. Ada Bapak Syaifoel Hardy yang banyak berkiprah dalam mendongkrak motivasi perawat kita untuk mendunia. Pada kesempatan yang sama, aku juga ketemu dengan Ketua Gerakan Perawat Honor Indonesia untuk wilayah Aceh. Dalam perbincangan menarik tersebut aku bisa belajar banyak. Bahwa yang paling berperan dalam mengubah dunia profesi adalah diri sendiri. Kemudian dari keluarga diteruskan dengan lingkungan.

Dari Bapak Irwan aku bisa belajar, sejatinya profesi kami di Aceh mendapatkan dukungan besar dari Pemerintah Daerah. Persoalannya, teman-teman sendiri yang tidak berusaha untuk mulai mendobrak jeruji penjara profesi yang mengelilinginya.

Teman-teman selama ini hanya mengedepankan demo untuk menuntut hak-haknya, tanpa mengedepankan potensinya yang sebenarnya bisa mereka tunjukkan kepada Dewan/Pimpinan Daerah guna memperoleh hari depan yang lebih baik. Bisa dalam bentuk pelatihan, bisa dalam bentuk workshop atau penelitian, yang kemudian disusun dalam proposal, agar mereka paham, bahwa banyak yang bisa diperbuat oleh Perawat Aceh. Lebih dari sekedar mengeluh dan demo di sana-sini.
Aku percaya, bahwa dana bukan momok yang harus disalahkan jika perawat Aceh mau maju.

Setidaknya itu yang ingin aku bagikan kepada teman-teman. Ada banyak hal yang bisa kita perbuat. Termasuk dalam acara yang akan kita selenggarakan besok Senin, 11 Maret 2019 di Banda Aceh. Aku balik sebentar ke Aceh, dan akan kembali ke Jawa, juga bukan dengan duit sendiri. Dari Jawa ke Aceh, aku hanya ingin meyakinkan generasi muda nursing di Aceh, sebenarnya kalau kita bersungguh-sungguh, peluang itu sangat luas dan dijadikannya amat mudah olehNya.

Banda Aceh, 10 Maret 2019
Ridha Afzal

0 Response to "MENDOBRAK JERUJI PENJARA PROFESI DARI SERAMBI MAKKAH"

Posting Komentar