Sudah hampir sebulan saya tinggal di Jawa. Kali ini, sungguh sangat beruntung bisa berkunjung ke sebuah universitas Islam besar dan punya nama. Universitas Islam Sultan Agung Semarang mereka menyebutnya.
Semula, seperti halnya kampus-kampus lain, saya tidak terlalu ‘peduli’ dengan sebuah nama. Sebagai seorang yang pernah aktif di dunia kemahasiswaan, aku banyak keluar masuk kampus selama 5 tahun, sepanjang menyelami pendidikan S1 hingga profesi Keperawatan ini. Terlebih dengan aktivitas mahasiswanya. Sejatinya, tidak banyak hal baru yang aku harapkan untuk ditemui di kampus-kampus di negeri ini. Khususnya tentang program studinya, jurusan, pertukaran mahasiswa serta aneka MOU lainnya dengan kampus luar negeri.
Perjalanan ke Semarang kali ini lewat darat, naik bus dari Malang-Jawa Timur ke Jawa Tengah. Kami mampir ke Magetan dulu. Sebuah kota yang terletak di tengah-tengah antara Jatim dan Jateng lewat jalur tengah. Kami singgah ke rumah seorang perawat senior yang pernah kerja di Saudi Arabia, Pak Hadi namanya. Kemudian ke Poltekkes Prodi Kebidanan di Magetan, bertemu dengan pak Joko serta ke sebuah Puskesmas di dekat Telaga Sarangan, Puskesmas Plaosan. Di sana kami bertemu dengan pak Wahyudi mantan perawat Kuwait. Ada banyak cerita, ada sejuta hikmah.
Namun saya tidak akan bercerita tentang mereka serta keindahan pemandangan Telaga Sarangan serta Kota Magetan. Mungkin lain kali saja.
Bermalam di kisaran Simpang Lima, business hub nya kota Semarang, pagi hari sekitar pukul delapan, kami dijemput oleh seorang dosen senior dari Fakultas Ilmu Keperawatan-Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Perjalanan menempuh kurang lebih 20 menit dari Hotel MG Suites menuju kampus. Begitu masuk mobil, menutup pintu, cerita sudah dimulai. Tidak ada yang sekedar omong kosong melainkan fokus tentang kepeduliannya.
Dari sekian banyak materi obrolan yang ada, fokus saya terhadap kampus yang satu ini adalah bentuk kepedulian konkrit para dosen serta manajemen kampus terhadap masa depan mahasiswanya. Disebutkan oleh Ibu Endang, bahwa memang ada sebagian mahasiswa yang mampu. Tetapi sebagian besar mahasiswa mereka berasal dari golongan yang sangat sederhana tingkat sosial ekonominya. Oleh karena itu, saat ada 6 orang yang berangkat kerja ke Saudi Arabia tahun lalu, kampus menawarkan sejumlah ‘pinjaman’ lunak kepada mereka sebagai bentuk bantuan sekedar meringankan beban beratnya. Mereka juga baru saja menyelesaikan profesi, ikut UKNI, Yudisium, Sumpah Profesi, Wisuda, yang tentunya banyak pengeluaran. Sudah semestinya kampus turut memikirkan semua beban finansial ini, tambahnya.
Dalam sambutan Bapak Dekan, malah beliau sebenarnya tidak berharap teman-teman yang dibantu ini mengembalikan uangnya segera. Ternyata, dalam 2-3 bulan, mereka sudah melunasinya. Aku sempat menitikkan air mata mendengar semuanya. Walaupun tidak membasahi pipi ini secara fisik, namun sungguh sangat terasa sentuhan kasih sayang dosen terhadap mahasiswanya. Barangkali bukan jumlah uang yang menjadi persoalan. Sebagai seorang pemuda yang baru saja menyelesaikan pendidikan di kampus keperawatan, sejujurnya, jarang aku temukan sosok-sosok seperti Bapak Iwan dan Ibu Endang yang begitu besar kepeduliannya terhadap mahasiswa mereka.
Kalau masalah duit untuk kepentingan kerja di luar negeri saja diperhatikan, aku tidak heran jika Surat Keterangan Kerja dari tempat mereka praktik selama menjalani profesi dari Teaching Hospital dengan mudah mereka berikan. Itupun, dalam Bahasa Inggris. Subhanallah…
Saya dari Aceh. Melihat apa yang terjadi di FIK Unisulla, sudah sepatutnya ditiru oleh kampus-kampus lain di Bumi Pertiwi ini. Perawat-perawat muda kita memang butuh lulus Ukom, butuh STR, butuh lapangan kerja juga butuh penghasilan layak. Di balik itu semua, ada satu kebutuhan besar yang sangat diharapkan generasi muda nursing Indonesia ini adalah perhatian secara moral dari dosen-dosen yang telah berjasa membesarkan mereka selama kuliah.
Kami pulang dengan mengantongi rasa puas serta bangga. FIK Unisulla tidak perlu koar-koar manakala telah berbuat kebaikan kepada mahasiswanya, kepada masyarakat luas. FIK Unissula telah berbuat lebih dari sekedar menyampaikan segudang mata kuliah dan keterampilan kepada mahasiswanya. Unissula telah lengkap memberikan contoh, bahwa demikianlah seharusnya gambaran kampus Islam.
Malang, 23 Maret 2019
*Penulis adalah lulusan Program Profesi Ners STIKes Harapan Bangsa Darussalam, Banda Aceh dan Demisioner Ketua Umum Ikatan Lembaga Mahasiswa Keperawatan Aceh (ILMAKA) 2016-2018.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "BUKAN KAMPUS BIASA - Ridha Afzal"
Posting Komentar