DI MATA PERAWAT ACEH: ANTARA PENGHAPUSAN UKOM DAN PELUANG KERJA

Oleh Ridha Afzal*

Lebih dari 50 lembaga pendidikan keperawatan dan kebidanan yang ada di Aceh. Berarti, lebih dari 2000 profesional muda setiap tahunnya lahir di Aceh. Keberadaan mereka menjadi peluang, sekaligus tantangan, di Aceh khususnya, di negeri ini pada umumnya.

Peluang, karena mereka adalah tenaga professional yang energetik, masih muda dan segar dalam menjemput berbagai tantangan demi kemajuan Aceh dan bangsa Indonesia di bidang kesehatan. Sedangkan tantangan, karena Pemerintah, baik daerah maupun pusat, belum mampu mengakomodasi kehadiran mereka sebagai tenaga kerja tetap serta dibayar layak. Perawat muda Aceh butuh gebrakan baru agar kesejahteraan mereka terpenuhi.

Selama duduk di Ikatan Lembaga Mahasiswa Keperawatan Aceh (ILMAKA) periode 2016 lalu, ratusan  mahasiswa dari 26  kampus keperawatan, program D3 maupun S1 yang saya temui. Ada fenomena yang menarik untuk dikaji dan perlu solusi.

Secara umum, teman-teman generasi muda Aceh menyintai profesinya. Kalaupun di beberapa kampus persentase mereka yang belum lulus Uji Kompetensi terhitung besar jumlahnya, itu karena sistem yang dijalankan oleh kampus belum mumpuni. Bukan karena mahasiswa tidak mampu secara intelektual. Saya melihat dan mengunjungi beberapa kampus di Jawa, Kalimantan, Bali juga di Sumatera, di mana level mereka yang sebenarnya sama saja dengan teman-teman di Aceh, nyatanya bisa lulus Ukom dengan angka yang fantastik. Ini bukti bahwa ada yang perlu dibenahi dalam sistem belajar yang ada di kampus-kampus keperawatan Aceh.

Berita hangat terakhir tentang dihapuskannya Ukom, bukan berarti sebuah kemajuan bagi perawat Aceh karena tidak perlu melampaui hambatan besar sebelum perolehan STR. Akan tetapi justru menjadi tantangan, bagaimana perawat Aceh menyetarakan diri secara nasional di tengah kompetisi kualitatif kaum professional.

Yang kedua dan paling penting adalah persoalan perolehan kesempatan kerja. Ini penting karena perawat muda Aceh butuh masa depan yang cerah. Dan itu, adalah hak mereka. Hanya saja, perawat Aceh harus sadar, bahwa hak, tidak serta merta dituntut. Namun harus diperjuangkan, bahkan dari dalam diri perawat Aceh sendiri. Berharap dari Pemerintah Pusat atau Daerah dalam perolehan kesempatan kerja sah-sah saja. Namun yang lebih pas adalah, perawat Aceh selayaknya mampu mencari  bersama Pemerintah, solusinya.

Selanjutnya tentang perawat muda yang berprestasi, sejauh saya mengamati mayoritas mereka bekerja di instansi kecil, dibayar murah dan karirnya tidak berkembang. Bukan tidak boleh, namun jangan berlarut-larut. Sangat disayangkan di era persaingan pasar global, perawat-perawat muda Aceh belum mampu mengambil peran secara konkrit. Padahal kita dapati di setiap visi – misi kampus keperawatan, lulusannya diharapkan mampu bersaing secara nasional dan internasional.

Siapa yang bisa memastikan kalau perawat-perawat luar negeri seperti Perawat China, Jepang, Jerman, Belanda, dan negara-negara lain tidak akan menguasai lapangan kerja kita di Indonesia khususnya Aceh, terlebih sekarang banyak Rumah Sakit yang memproses akreditasi Joint Commission International (JCI)? Berebut dengan sesama perawat Aceh saja, banyak lulusan yang tidak sanggup. Lantas, banting stir!

Dalam penelitian Skripsi saya tahun 2016 dengan judul “Gambaran Motivasi Berbahasa Inggris Perawat dalam Mengahadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di RSUD dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh” menunjukkan, perawat (60%) termotivasi secara intrinsik dan (66%) termotivasi secara ekstrinsik untuk berbahasa Inggris guna menghadapi MEA. Hal ini menunjukkan, bahwa Perawat Aceh mempunyai potensi besar dalam mengahadapi persaingan global. Namun hal ini harus dikembangkan agar tidak hanya menjadi sebuah motivasi, sehingga perawat Aceh tidak kalah di kandang sendiri pada masa yang akan datang.

Menghadapi sinyalemen ini, ada baiknya perawat Aceh mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Mencari kerja, untuk tahap awal, tida perlu pilih-pilih. Namun, jangan yang gratisan atau sekedar magang yang ujun-ujungnya adalah merendahkan martabat profesi.

2. Tidak perlu alergi dengan kerja di luar daerah Aceh. Perawat Aceh hendaknya tidak terkungkung dalam situasi yang sangat konservatif sehingga tidak mau berkembang hanya karena ke luar dari Aceh.

3. Peluang keja ke luar negeri harus disikapi secara positif dan bagian dari solusi konkrit terhadap kesenjangan kesejahteraan yang selama ini banyak dihadapi perawat Aceh, lantaran tidak digaji layak di tempat tinggal sendiri.

4. Entrepreneurship adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan zaman, di mana kebutuhan pemilikan berbagai talenta (multiskills) tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, perawat harus belajar ilmu/keterampilan lain, bukan hanya keperawatan yang ‘sempit’. Perawat harus belajar ilmu lain, misalnya herbal, hypnotherapy, spa, akupuntur, klinik kecantikan, hingga online marketing skills, dll.  Ini penting, agar perawat berwawasan luas serta mengantongi predikat professional berketerampilan ganda.

Good Luck!

Malang, 24 Maret 2019

*Penulis adalah lulusan Program Profesi Ners STIKes Harapan Bangsa Darussalam, Banda Aceh dan Demisioner Ketua Umum Ikatan Lembaga Mahasiswa Keperawatan Aceh (ILMAKA) 2016-2018.

0 Response to "DI MATA PERAWAT ACEH: ANTARA PENGHAPUSAN UKOM DAN PELUANG KERJA"

Posting Komentar