MENUNGGU HAPUSNYA PROGRAM NERS - By Ridha Afzal, Skep., Ners

Bukannya tidak senang. Tetapi kuliah S1 Keperawatan plus Program Ners 1 tahun itu bagi saya pribadi kelamaan. Lama kuliahnya, lama nunggu harus kerja, lama usia, serta mahal harganya. Makanya, kalau ada yang mengusung program dihapuskannya Program Ners, saya akan berada di garis depan menyetujuinya. Alasan saya demikian :

1. Saya tidak yakin yang menyusun Pogram Pendidikan Ners tersebut adalah Team Pendidik Keperawatan yang competent dalam bidang pendidikan. Kalau mereka kompeten di bidang pendidikan, mestinya mereka paham, bahwa di dunia ini tidak ada vocab (perbendaharaan kata) ‘Nurse’ kemudian diplesetkan menjadi ‘Ners’ seenak hati kita.

2. Dalam Bahasa Indonesia, tidak pernah mengenal vocal rangkap, kecuali dari istilah asing yang diindonesiakan. Misalnya kata ‘climax, transport, design’ kemudian menjadi: ‘Klimaks, transpor, desain’. Sementara ‘Ners’, itu apakah memang diambil dari kata ‘Nurse’ yang kemudian diindonesiakan atau bagaimana? ‘Ners’ ini, gelar bukan, ‘Nurse’ bukan, singkatan juga bukan.

3. Program Ners ini terlalu mengada-ada. Cenderung copy & Paste dari Program Pendidikan Kedokteran. Kita harus ingat, bahwa perawat itu bukan dokter. Bukan pula farmasi. Standar pendidikan sarjana rata-rata adalah 4 tahun lamanya. Mestinya, sesudah selesai pendidikan 4 tahun, bisa langsung ikut test (Baca: Registrasi Nasional), dan terdaftar serta diakui sebagai professional, tanpa ada embel-embel pendidikan profesi seperti dokter. Toh, pada akhirnya perawat tidak pernah dibayar sama dengan dokter. Hemat saya, biar kedokteran puya system profesi sendiri, keperawatan tidak harus nyontoh. Karena menyamakan pendidikan keperawatan dengan kedokteran adalah kenistaan. Kalau sekedar keilmuan, saya setuju, perawat bisa belajar. Bahkan untuk terbang ke Bulan pun bikin roket, saya tidak menolak.

4. Program Ners ini bertele-tele. Harusnya, kalau di Malaysia, Thailand, Filipina, USA, India, Sarjana Keperawatan itu cukup 4 tahun, mengapa kita paksakan 5 tahun? Belum lagi nunggu giliran Ukom serta turunnya STR yang berkepanjangan. Negara lain di umur 22 tahun sudah kerja. Di kita, umur 25 tahun masih nunggu terima STR hanya karena mengatas-namakan kualitas dan registrasi nasional, dan bergelar ‘Ners’.

5. Yang paling penting ingin saya sampaikan adalah: Ners, tidak sama dengan RN. Gelar Ners tidak bisa digunakan untuk membedakan perawat yang teregistrasi atau tidak. Sedangkan RN jelas posisinya. Kecuali jika penyematan Ners itu hanya diperbolehkan bagi mereka yang sudah lolos uji kompetensi dan mengantongi STR.

6. Sebenarnya tidak masalah mau menciptakan ide atau inovasi profesi. Bagus-bagus saja. Tapi ingat, kalau yang namanya buku referensi dan sistem pedidikan saja nota bene copy paste dari USA, Canada, Australia, Inggris, mengapa kita menciptakan istilah yang membuat mereka dan orang asing lainnya jadi pusing? Bukankah tulisan ‘Ners’ itu membuat orang luar bingung? Lebih baik tuliskan saja RN (Registered Nurse) sekalian, jangan nanggung lah. Bayangkan sistem gelar perawat di negeri ini: Ns. Ridha Afzal, Skep., M.Kep. Sp.KMB, misalnya. Orang luar mana yang paham? Bedakan dengan: Ridha Afzal, MN. MN: Master of Nursing. Simple kan?

Lebih heran lagi keluar surat edaran dari AIPNI Nomor: 622/AINEC.ka.Sr/XII/2010 tentang pencantuman gelar pendidikan Profesi Ners yang isinya menetapkan gelar "Ns" Boleh diletakkan di awal dan di akhir nama, kenapa tidak ada ketetapan yg baku dalam pemcantuman gelar profesi. Kok bisa pilih-pilih?
Mari kita cek Ijazah profesi Ners kita masing2 apalah disebut "Ns" seperti ketetapan AIPNI atau "Ners" seperti di ijazah Saya.

Please…..

Para pembesar keperawatan di negeri ini, doctor dan professor yang kami hormati……benahi sistem pendidikan dan gelar kami agar tidak jadi bahan tertawaan kami di luar negeri. Walaupun memang, Ners dan sederetan gelar perawat kita ini untuk konsumsi dalam negeri. Namun tahukan Bapak/Ibu doctor/professor keperawatan? Bahwa nama dan gelar di negeri ini selalu lengket dan kemana-mana dibawa. Di Ijazah, Sertifikat, CV, Visiting Card, email, WA dan lain-lain. Kalau kami yang muda-muda ini bingung, kami jadi heran jika yang sudah senior tidak lebih bingung lagi.

Malang, 2 May 2019

*Penulis adalah Perawat Muda Aceh, Demisioner Ketua ILMAKA, Alumni Stikes Harapan Bangsa Banda Aceh, Pemerhati Fenomena Keperawatan Indonesia.

0 Response to "MENUNGGU HAPUSNYA PROGRAM NERS - By Ridha Afzal, Skep., Ners"

Posting Komentar