PROSES PEMBANGUNAN KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Saat ini perkembangan keperawatan di Indonesia telah
mengalami perubahan yang sangat pesat menuju perkembangan keperawatan sebagai
profesi. Proses ini merupakan proses perubahan yang sangat mendasar dan
konsepsional, yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek pendidikan,
pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kehidupan
keprofesian dalam keperawatan.
Perkembangan keperawatan menuju keperawatan profesi
dipengaruhi oleh sebagai perkembangan keperawatan profesional seperti: adanya
tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan. Oleh sebab itu
jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari
tenaga keperawatan yang profesional. Dalam konsep profesi terkait erat tiga
nilai sosial yaitu: pengetahuan yang mendalam dan sistematis, keterampilan
teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan yang lama dan teliti, dan
pelayanan/angsuran kepada yang memerlukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang
diyakini, yaitu etika profesi serta konsep-konsep dalam berkomunikasi.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah peranan komunikasi dalam pembangunan?
2.
Bagaimana komunikasi dalam proses keperawatan?
3.
Bagaimanakah Komunikasi terapeutik dalam keperawatan?
C.
TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui peranan komunikasi
dalam pembangunan.
2. Untuk mengetahui komunikasi dalam
proses keperawatan.
3. Untuk mengetahui Komunikasi
terapeutik dalam keperawatan.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Peranan Komunikasi dalam Pembangunan
Konsep
komunikasi pembangunan dapat dilihat dalam arti luas dan arti sempit.
Dalam
arti luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi
(sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua
pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan; terutama antara masyarakat dengan
pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan, dan penilaian
terhadap pembangunan.
Dalam
arti sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara,
serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan
yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada
masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju dapat
memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan- gagasan yang
disampaikan.
Dalam
karyanya, Schramm (1964) merumuskan tugas pokok komunikasi dalam suatu
perubahan sosial dalam rangka pembangunan nasional, yaitu :
1. menyampaikan kepada masyarakat,
informasi tentang pembangunan nasional, agar mereka memusatkan perhatian pada
kebutuhan akan perubahan, kesempatan dan cara mengadakan perubahan,
sarana-sarana perubahan, dan membangkitkan aspirasi nasional.
2. memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pembuatan
keputusan, memperluas dialog agar melibatkan semua pihak yang membuat keputusan
mengenai perubahan, memberi kesempatan kepada para pemimpin masyarakat untuk
memimpin dan mendengarkan pendapat rakyat kecil, dan menciptakan arus informasi
yang berjalan lancar dari bawah ke atas.
Hedebro
(1979) mendaftar 12 peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam pembangunan,
antara lain:
1. Komunikasi dapat menciptakan iklim
bagi perubahan dengan membujukkan nilai-nilai, sikap mental, dan bentuk perilku
yang menunjang modernisasi.
2. Komunikasi dapat mengajarkan
keterampilan-keterampilan baru, mulai dari baca-tulis ke pertanian, hingga ke
keberhasilan lingkungan, hingga reparasi mobil.
3. Media massa dapat bertindak sebagai
pengganda sumber-sumber daya pengetahuan.
4. Media massa dapat mengantarkan
pengalaman-pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri, sehingga mengurangi
biaya psikis yang ekonomis untuk menciptakan kepribadian yang mobile.
5. Komunikasi dapat meningkatkan
aspirasi yang merupakan perangsang untuk bertindak nyata.
6. Komunikasi dapat membantu masyarakat
menemukan norma-norma baru dan keharmonisan dari masa transisi.
2.
Komunikasi Dalam Proses Keperawatan
Komunikasi
merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar manusia.
Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna karena merupakan
metoda utama dalam mengimplementasikan proses keperawatan.
Pengalaman
ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial
yang besar (Abdalati, 1989). Untuk itu perawat memerlukan kemampuan khusus dan
kepedulian sosial yang mencakup ketrampilan intelektual, tehnical dan
interpersonal yang tercermin dalam perilaku “caring” atau kasih saying / cinta
(Johnson, 1989) dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Perawat
yang memiliki ketrampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak saja akan mudah
menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, mencegah terjadinya masalah legal,
memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan meningkatkan
citra profesi keperawatan serta citra rumah sakit (Achir Yani), tetapi yang
paling penting adalah mengamalkan ilmunya untuk memberikan pertolongan terhadap
sesama manusia.
Dalam
profesi keperawatan, komunikasi sangat penting antara perawat dengan perawat,
dan perawat dengan klien, khususnya komunikasi antar perawat dengan klien
dimana dalam komunikasi itu perawat dapat menemukan beberapa solusi dari
permasalahan yang sedang dialami klien, dan komunikasi ini dinamakan dengan
komunikasi terapeutik. Akan tetapi dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik ini
ada fase-fase, tehnik-tehnik, dan faktor-faktor, serta proses komunikasi
terapeutik tersebut dalam perawatan sehingga pelayanan/asuhan keperawatan dapat
berjalan dengan baik serta memberikan tingkat kepuasan pada klien. Pembahasan
tersebut akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya yaitu “Komunikasi
Terapeutik Dalam Keperawatan”.
3.
Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan
A.
Pengertian komunikasi terapeutik
Komunikasi
terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara perawat klien yang bertujuan
untuk menyelesaikan masalah klien yang mempengaruhi perilaku pasien. Hubungan
perawat klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar bersama dan pengalaman
dengan menggunakan berbagai tekhnik komunikasi agar perilaku klien berubah ke
arah positif seoptimal mungkin. Untuk melaksanakan komunikasi terapeutik yang
efektif perawat harus mempunyai keterampilan yang cukup dan memahami tentang
dirinya.
Agar
perawat dapat berperan efektif dalam terapeutik ia harus menganalisa dirinya :
kesadaran diri klarifikasi nilai, perasaan dan mampu menjadi model yang
bertanggung jawab. Seorang perawat tidak akan dapat mengetahui kondisi klien
jika tidak ada kemampuan menghargai keunikan klien.
Komunikasi
terapeutik tidak dapat berlangsung sendirinya, tetapi harus di rencanakan, di
pertimbangkan dan di lakukan secara profesional. Pada saat pertama kali perawat
melakukan komunikasi terapeutik proses komunikasi umumnya berlangsung singkat,
canggung, semu dan seperti di buat-buat.hal ini akan lebih membantu untuk
mempersepsikan masing-masing hubungan pasien karena adanya kesempatan untuk
mencapai hubungan antar manusia yang positif sehingga akan mempermudah
pencapaian tujuan terapeutik.
B.
Fase – fase komunikasi terapeutik
1. Tahap Persiapan (Prainteraksi)
Tahap
Persiapan atau prainteraksi sangat penting dilakukan sebelum berinteraksi
dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada tahap ini perawat menggali perasaan
dan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap ini perawat juga
mencari informasi tentang klien. Kemudian perawat merancang strategi untuk
pertemuan pertama dengan klien. Tahap ini harus dilakukan oleh seorang perawat
untuk memahami dirinya, mengatasi kecemasannya, dan meyakinkan dirinya bahwa
dia siap untuk berinteraksi dengan klien (Suryani, 2005).
Tugas
perawat pada tahap ini antara lain:
1. Mengeksplorasi perasaan, harapan,
dan kecemasan. Sebelum berinteraksi dengan klien, perawat perlu mengkaji
perasaannya sendiri (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Perasaan apa yang muncul
sehubungan dengan interaksi yang akan dilakukan. Apakah ada perasaan cemas? Apa
yang dicemaskan? (Suryani, 2005).
2. Menganalisis kekuatan dan kelemanhan
sendiri. Kegiatan ini sangat penting dilakukan agar perawat mampu mengatasi
kelemahannya secara maksimal pada saat berinteraksi dengan klien. Misalnya
seorang perawat mungkin mempunyai kekuatan mampu memulai pembicaraan dan sensitif
terhadap perasaan orang lain, keadaan ini mungkin bisa dimanfaatkan perawat
untuk memudahkannya dalam membuka pembicaraan dengan klien dan membina hubungan
saling percaya (Suryani, 2005).
3. Mengumpulkan data tentang klien.
Kegiatan ini juga sangat penting karena dengan mengetahui informasi tentang
klien perawat bisa memahami klien. Paling tidak perawat bisa mengetahui
identitas klien yang bisa digunakan pada saat memulai interaksi (Suryani,
2005).
4. Merencanakan pertemuan yang pertama
dengan klien. Perawat perlu merencanakan pertemuan pertama dengan klien. Hal
yang direncanakan mencakup kapan, dimana, dan strategi apa yang akan dilakukan
untuk pertemuan pertama tersebut (Suryani, 2005).
2. Tahap Perkenalan
Perkenalan
merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu atau kontak dengan
klien (Christina, dkk, 2002). Pada saat berkenalan, perawat harus
memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepada klien (Brammer dalam Suryani,
2005). Dengan memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka pada
klien dan ini diharapkan akan mendorong klien untuk membuka dirinya (Suryani,
2005). Tujuan tahap ini adalah untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana
yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil
tindakan yang lalu (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).
Tugas
perawat pada tahap ini antara lain:
1. Membina rasa saling percaya,
menunjukkan penerimaan, dan komunikasi terbuka. Hubungan saling percaya
merupakan kunci dari keberhasilan hubungan terapeutik (Stuart, G.W dalam
Suryani, 2005), karena tanpa adanya rasa saling percaya tidak mungkin akan
terjadi keterbukaan antara kedua belah pihak. Hubungan yang dibina tidak
bersifat statis, bisa berubah tergantung pada situasi dan kondisi (Rahmat, J
dalam Suryani 2005). Karena itu, untuk mempertahankan atau membina hubungan
saling percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima klien
apa adanya, menepati janji, dan menghargai klien (Suryani, 2005).
2. Merumuskan kontrak pada klien
(Christina, dkk, 2002). Kontrak ini sangat penting untuk menjamin kelangsungan
sebuah interaksi (Barammer dalam Suryani, 2005). Pada saat merumuskan kontrak
perawat juga perlu menjelaskan atau mengklarifikasi peran-peran perawat dan
klien agar tidak terjadi kesalah pahaman klien terhadap kehadiran perawat.
Disamping itu juga untuk menghindari adanya harapan yang terlalu tinggi dari
klien terhadap perawat karena karena klien menganggap perawat seperti dewa
penolong yang serba bisa dan serba tahu (Gerald, D dalam Suryani, 2005).
Perawat perlu menekankan bahwa perawat hanya membantu, sedangkan kekuatan dan
keinginan untuk berubah ada pada diri klien sendiri (Suryani, 2005).
3. Menggali pikiran dan perasaan serta
mengidentifikasi masalah klien. Pada tahap ini perawat mendorong klien untuk
mengekspresikan perasaannya. Dengan memberikan pertanyaan terbuka, diharapkan
perawat dapat mendorong klien untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya
sehingga dapat mengidentifikasi masalah klien.
4. merumuskan tujuan dengan klien.
Perawat perlu merumuskan tujuan interaksi bersama klien karena tanpa
keterlibatan klien mungkin tujuan sulit dicapai. Tujuan ini dirumuskan setelah
klien diidentifikasi.
Fase
orientasi, fase ini dilaksanakan pada awal setiap pertemuan kedua dan
seterusnya, tujuan fase ini adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang
telah dibuat dengan keadaan klien saat ini, dan mengevaluasi hasil tindakan
yang lalu. Umumnya dikaitkan dengan hal yang telah dilakukan bersama klien
(Cristina, dkk, 2002).
3. Tahap Kerja
Tahap
kerja ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik
(Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Pada tahap ini perawat dan klien bekerja
bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien. Pada tahap kerja ini
dituntut kemampuan perawat dalam mendorong klien mengungkap perasaan dan
pikirannya. Perawat juga dituntut untuk mempunyai kepekaan dan tingkat analisis
yang tinggi terhadap adanya perubahan dalam respons verbal maupun nonverbal
klien.
Pada
tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat pada tahap
kerja ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Melalui active
listening, perawat membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang dihadapi,
bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara atau alternatif
pemecahan masalah yang telah dipilih.
Perawat
juga diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan klien. Tehnik
menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-hal penting
dalam percakapan, dan membantu perawat-klien memiliki pikiran dan ide yang sama
(Murray, B & Judth dalam Suryani, 2005). Tujuan tehnik menyimpulkan adalah
membantu klien menggali hal-hal dan tema emosional yang penting (Fontaine &
Fletcner dalam Suryani, 2005).
4. Tahap Terminasi
Terminasi
merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan klien (Christina, dkk, 2002).
Tahap ini dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir (Stuart, G.W
dalam Suryani, 2005).
Terminasi
sementara
adalah
akhir dari tiap pertemuan perawat-klien, setelah terminasi sementara, perawat
akan bertemu kembali dengan klien pada waktu yang telah ditentukan.
Terminasi
akhir
terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara keseluruhan.
Tugas
perawat pada tahap ini antara lain:
a. Mengevaluasi pencapaian tujuan dari
interaksi yang telah dilaksanakan. Evaluasi ini juga disebut evaluasi objektif.
Dalam mengevaluasi, perawat tidak boleh terkesan menguji kemampuan klien, akan
tetapi sebaiknya terkesan sekedar mengulang atau menyimpulkan.
b. Melakukan evaluasi subjektif.
Evaluasi subjektif dilakukan dengan menanyakan perasaan klien setelah
berinteraksi dengan perawat. Perawat perlu mengetahui bagaimana perasaan klien
setelah berinteraksi dengan perawat. Apakah klien merasa bahwa interaksi itu
dapat menurunkan kecemasannya? Apakah klien merasa bahwa interaksi itu ada
gunanya? Atau apakah interaksi itu justru menimbulkan masalah baru bagi klien.
c. Menyepakati tindak lanjut terhadap
interaksi yang telah dilakukan. Tindakan ini juga disebut sebagai pekerjaan
rumah untuk klien. Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi
yang akan dilakukan berikutnya. Misalnya pada akhir interaksi klien sudah
memahami tentang beberapa alternative mengatasi marah. Maka untuk tindak lanjut
perawat mungkin bisa meminta klien untuk mencoba salah satu dari alternative tersebut.
d. Membuat kontrak untuk pertemuan
berikutnya. Kontrak ini penting dibuat agar terdapat kesepakatan antara perawat
dan klien untuk pertemuan berikutnya. Kontrak yang dibuat termasuk tempat,
waktu, dan tujuan interaksi.
Stuart
G.W. (1998) dalam Suryani (2005), menyatakan bahwa proses terminasi
perawat-klien merupakan aspek penting dalam asuhan keperawatan, sehingga jika
hal tersebut tidak dilakukan dengan baik oleh perawat, maka regresi dan
kecemasan dapat terjadi lagi pada klien. Timbulnya respon tersebut sangat
dipengaruhi oleh kemampuan perawat untuk terbuka, empati dan responsif terhadap
kebutuhan klien pada pelaksanaan tahap sebelumnya.
C.
Tehnik-tehnik Komunikasi Terapeutik
1.
Bertanya
Bertanya
(questioning) merupakan tehnik yang dapat mendorong klien untuk mengungkapkan
perasaan dan pikirannya. Tehnik berikut sering digunakan pada tahap orientasi.
1)
Pertanyaan fasilitatif dan nonfasilitatif
Pertanyaan
fasilitatif (facilitative question) terjadi jika pada saat bertanya perawat
sensitif terhadap pikiran dan perasaan serta secara langsung berhubungan dengan
masalah klien, sedangkan pertanyaan nonfasilitatif (nonfacilitative question)
adalah pertanyaan yang tidak efektif karena memberikan pertanyaan yang tidak
fokus pada masalah atau pembicaraan, bersifat mengancam, dan tampak kurang
pengertian terhadap klien (Gerald, D dalam Suryani, 2005).
2)
Pertanyaan terbuka dan tertutup
Pertanyaan
terbuka (open question) digunakan apabila perawat membutuhkan jawaban yang
banyak dari klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat mampu mendorong klien
mengekspresikan dirinya (Antai-Otong dalam Suryani, 2005).
Pertanyaan
tertutup (closed question) digunakan ketika perawat membutuhkan jawaban yang
singkat.
3)
Inapropriate quantity question
Inapropriate
quantity question yaitu pertanyaan yang kurang baik dari sisi jumlah
pertanyaan, yang mengakibatkan klien bingung dalam menjawab. Terlalu banyak
pertanyaan merupakan tindakan yang tidak tepat karena menimbulkan kebingungan
klien untuk menjawab (Long, L dalam Suryani, 2005).
4)
Inapropriate quality question
Inapropriate
quality question yaitu pertanyaan yang tidak baik diberikan pada klien dan
biasanya dimulai dengan kata “why” (mengapa). Why question ini
dipertimbangkan tidak tepat karena :
a)
Terkesan menginterogasi, sehingga klien merasa seolah-olah diintimidasi
(Sturat, G.W dalam Suryani, 2005). Hal ini bisa menghambat keterbukaan klien
terhadap perawat.
b)
Tidak akan dapat menggali perasaan klien yang sebenarnya karena why question
mengiring klien untuk menjawab secara rasional atau mengemukakan alasan dari
suatu perbuatan atau keadaan, bukan bagaimana perasaanya terhadap kejadian
(Gerald, D dalam Suryani, 2005).
2.
Mendengarkan
Mendengarkan
(listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi terapeutik (Keliat, Budi
Anna, 1992). Mendengarkan adalah proses aktif (Gerald, D dalam Suryani, 2005)
dan penerimaan informasi serta penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang
diterima (Hubson, S dalam Suryani, 2005).
Selama
mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang dibacakan klien dengan penuh
perhatian. Perawat memberikan tanggapan dengan tepat dan tidak memotong
pembicaraan klien. Tunjukkan perhatian bahwa perawat mempunyai waktu untuk
mendengarkan (Purwanto, Heri, 1994).
3.
Mengulang
Mengulang
(restarting) yaitu mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien. Gunanya
untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti
pembicaraan klien (Keliat, Budi Anna, 1992). Restarting (pengulangan) merupakan
suatu strategi yang mendukung listening (Suryani, 2005).
4.
Klarifikasi
Klarifikasi
(clarification) adalah menjelaskan kembali ide atau pikiran klien yang tidak
jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapannya (Gerald, D
dalam Suryani, 2005).
Pada
saat klarifikasi, perawat tidak boleh menginterpretasikan apa yang dikatakan
klien, juga tidak boleh menambahkan informasi (Gerald, D dalam Suryani, 2005).
Apabila perawat menginterpretasikan pembicaraan klien, maka penilaiannya akan
berdasarkan pandangan dan perasaannya. Fokus utama klarifikasi adalah pada
perasaan, karena pengertian terhadap perasaan klien sangat penting dalam
memahami klien.
5.
Refleksi
Refleksi
(reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan, dan isi
pembicaraan kepada klien. Hal ini digunakan untuk memvalidasi pengertian
perawat tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan empati, minat, dan
penghargaan terhadap klien (Antai-Otong dalam Suryani, 2005).
Tehnik-tehnik
refleksi terdiri dari: (Keliat, Budi Anna, 1992)
1)
Refleksi visi, yaitu memvalidasi apa yang didengar. Klarifikasi ide yang
diekspresikan klien dengan pengertian perawat.
2)
Refleksi perasaan, yaitu memberi respon pada perasaan klien terhadap isi
pembicaraan, agar klien mengetahui dan menerima perasaanya.
Gunanya
adalah untuk :
a)
Mengetahui dan menerima ide dan perasaan.
b)
Mengoreksi.
c)
Memberi keterangan lebih jelas.
Ruginya
adalah :
a)
Mengulang terlalu sering dan sama.
b)
Dapat menimbulkan marah, iritasi, dan frustasi
6.
Memfokuskan
Memfokuskan
(focusing) bertujuan memberi kesempatan kepada klien untuk membahas masalah
inti dan mengarahkan komunikasi klien pada pencapaian tujuan (Stuart, G.W dalam
Suryani, 2005). Dengan demikian akan terhindar dari pembicaraan tanpa arah dan
penggantian topik pembicaraan. Hal yang perlu diperhatikan dalam mengguanakan
metode ini adalah usahakan untuk tidak memutus pembicaraan ketika klien
menyampaikan masalah penting (Suryani, 2005).
7.
Diam
Tehnik
diam (silence) digunakan untuk memberikan kesempatan pada klien sebelum
menjawab pertanyaan perawat. Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan
klien untuk mengorganisasi pikiran masing-masing (Stuart & Sundeen dalam
Suryani, 2005). Tehnik ini memberikan waktu pada klien untuk berfikir dan
menghayati, memperlambat tempo interaksi, sambil perawat menyampaikan dukungan,
pengertian, dan penerimaannya. Diam juga memungkinkan klien untuk berkomunikasi
dengan dirinya sendiri dan berguna pada saat klien harus mengambil keputusan
(Suryani, 2005).
8.
Memberi Informasi
Memberikan
tambahan informasi (informing) merupakan tindakan penyuluhan kesehatan klien.
Tehnik ini sangat membantu dalam mengajarkan kesehatan atau pendidikan pada
klien tentang aspek-aspek yang relevan dengan perawatan diri dan penyembuhan
klien. Informasi yang diberikan pada klien harus dapat memberikan pengertian
dan pemahaman tentang masalah yang dihadapi klien serta membantu dalam
memberikan alternatif pemecahan masalah (Suryani, 2005).
9.
Menyimpulkan
Menyimpulkan
(summerizing) adalah tehnik komunikasi yang membantu klien mengeksplorasi poin
penting dari interaksi perawat-klien. Tehnik ini membantu perawat dan klien
untuk memiliki pikiran dan ide yang sama saat mengakhiri pertemuan. Poin utama
dari menyimpulkan yaitu peninjauan kembali komunikasi yang telah dilakukan
(Murray, B & Judith dalam Suryani, 2005).
Manfaat
dari menyimpulkan antara lain : (Suryani, 2005)
a)
Memfokuskan pada topik yang relevan.
b)
Menolong perawat dalam mengulang aspek utama interaksi.
c)
Membantu klien untuk merasa bahwa perawat memahami perasaannya.
d)
Membantu klien untuk dapat mengulang informasi dan membuat tambahan atau
koreksi terhadap informasi sebelumnya.
1.
Mengubah Cara Pandang
Tehnik
mengubah cara pandang (refarming) ini digunakan untuk memberikan cara pandang
lain sehingga klien tidak melihat sesuatu atau masalah dari aspek negatifnya
saja (Gerald, D dalam Suryani, 2005). Tehnik ini sangat bermanfaan terutama
ketika klien berfikiran negatif terhadap sesuatu, atau memandang sesuatu dari
sisi negatifnya. Seorang perawat kadang memberikan tanggapan yang kurang tepat
ketika klien mengungkapkan masalah, misalnya menyatakan : “sebenarnya apa yang
anda pikirkan tidak seburuk itu kejadiannya”. Reframing akan membuat klien
mampu melihat apa yang dialaminya dari sisi positif (Gerald, D dalam Suryani,
2005) sehingga memungkinkan klien untuk membuat perencanaan yang lebih baik
dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.
11.
Eksplorasi
Eksplorasi
bertujuan untuk mencari atau menggali lebih jauh atau lebih dalam masalah yang
dialami klien (Antai-Otong dalam Suryani, 2005) supaya masalah tersebut bisa
diatasi. Tehnik ini bermanfaat pada tahap kerja untuk mendapatkan gambaran yang
detail tentang masalah yang dialami klien.
12.
Membagi Persepsi
Stuart
G.W (1998) dalam Suryani (2005) menyatakan, membagi persepsi (sharing
peception) adalah meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan atau
pikirkan. Tehnik ini digunakan ketika perawat merasakan atau melihat ada perbedaan
antara respos verbal dan respons nonverbal klien.
13.
Mengidentifikasi Tema
Perawat
harus tanggap terhadap cerita yang disampaikan klien dan harus mampu manangkap
tema dari seluruh pembicaraan tersebut. Gunanya adalah untuk meningkatkan
pengertian dan menggali masalah penting (Stuart & Sadeen dalam Suryani,
2005). Tehnik ini sangat bermanfaat pada tahap awal kerja untuk memfokuskan
pembicaraan pada awal masalah yang benar-benar dirasakan klien.
14.
Humor
Humor
bisa mempunyai beberapa fungsi dalam hubungan terapeutik. Florence Nightingale
dalam Anonymous (1999) dalam Suryani (2005) pernah mengatakan suatu pengalaman
pahit sangat baik ditangani dengan humor. Humor dapat meningkatkan kesadaran
mental dan kreativitas, serta menurunkan tekanan darah dan nadi.
Dalam
beberapa kondisi berikut humor mungkin bisa dilakukan :
a)
Pada saat klien mengalami kecemasan ringan sampai sedang, humor mungkin bisa
menurunkan kecemasan klien.
b)
Jika relevan dan konsisten dengan sosial budaya klien.
c)
Membantu klien mengatasi masalah lebih efektif.
15.
Memberikan Pujian
Memberikan
Pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis yang didapatkan klien
ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna untuk meningkatkan
harga diri dan menguatkan perilaku klien (Gerald, D dalam Suryani, 2005).
Reniforcement bisa diungkapkan dengan kata-kata ataupun melalui isyarat
nonverbal.
D.
Faktor-faktor Komunikasi Terapeutik
Faktor
– faktor penghambat dalam proses komunikasi terpeutik adalah : (Purwanto, Heri,
1994)
a)
Kemampuan pemahaman yang berbeda.
b)
Pengamatan/penafsiran yang berbeda karena pengalaman masa lalu.
c)
Komunikasi satu arah.
d)
Kepentingan yang berbeda
e)
Memberikan jaminan yang tidak mungkin
f)
Memberitahu apa yang harus dilakukan kepada penderita
g)
Membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi
h)
Menuntut bukti, tantangan serta penjelasan dari pasien mengenai tindakannya
i)
Memberikan kritik mengenai perasaan penderita
j)
Menghentikan/mengalihkan topik pembicaraan
k)
Terlalu banyak bicara yang seharusnya mendengarkan.
l)
Memperlihatkan sifat jemu, pesimis.
Faktor
penghambat komunikasi : (Kariyoso, 1994)
a)
Kecakapan yang kurang dalam berkomunikasi
b)
Sikap yang kurang tepat
c)
Kurang pengetahuan
d)
Kurang memahami sistem sosial
e)
Prasangka yang tidak beralasan
f)
Jarak fisik, komunikasi menjadi kurang lancar bila jarak antara komunikator
dengan reseptor berjauhan
g)
Tidak ada persamaan persepsi
h)
Indera yang rusak
i)
Berbicara yang berlebihan
j)
Mendominir pembicaraan, dan lain sebagainya
Faktor
yang mempengaruhi komunikasi : (Suryani, 2005)
a)
Kredibilitas
Kredibilitas
(credibility) terdapat dan berpengaruh pada sumber atau komunikator.
Kredibilitas komunikasi sangat mempengaruhi keberhasilan proses komunikasi,
karena hal ini mempengaruhi tingakat kepercayaan sasaran atau komunikasi
terhadap pesan yang disampaikan.
b)
Isi pesan
Pesan
yang disampaikan hendaknya mengandung isi yang bermanfaat bagi sasaran. Hasil
komunikasi akan lebih baik jika isi pesan besar manfaatnya bagi kepentingan
sasaran.
c)
Kesesuaian dengan kepentingan sasaran
Kesesuaian
dengan kepentingan sasaran (context) terdapat dan berperan pada pesan. Pesan
yang disampaikan harus berhubungan dengan kepentingan sasaran.
d)
Kejelasan
Kejelasan
(clarity) terdapat dan berperan pada pesan. Kejelasan pesan yang disampaikan
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi.
e)
Kesinambungan dan konsistensi
Kesinambungan
dan konsistensi (continuity and consistency) terdapat pada pesan. Pesan yang
akan disampaikan harus konsistensi dan berkesinambungan.
f)
Saluran
Salura
(channel) terdapat dan berperan pada media. Media yang digunakan harus
disesuaikan dengan pesan yang ingin disampaikan.
g)
Kapabilitas sasaran
Kapabilitas
sasaran (capability of the audience) terdapat pada komunikan. Dalam
menyampaikan pesan, komunikator harus memperhitungkan kemampuan sasaran dalam
menerima pesan.
h)
Psikologis (Rahmat, J dalam Suryani, 2005)
Seperti
sikap, pengalaman hidup, motivasi, kepribadian, dan konsep.
i)
Sosial (Ellis, Gates & Kenwarthy dalam Suryani, 2005)
Seperti
usia, jenis kelamin, kelas sosial, suku, bahasa, kekuasaan, dan peran sosial.
E.
Komunikasi Terpeutik dalam Proses Perawatan
·
Proses komunikasi : (Mubarak, Wahid Iqbal, dkk, 2007)
1)
Reference, stimulus yang memotifasi seseorang untuk berkomunikasi dengan orang
lain. Dapat berupa pengalaman, ide atau tindakan.
2)
Pengirim/ sumber/ encorder, disebut juga komunikator. Bisa perorangan atau
kelompok.
3)
Pesan/ berita, informasi yang dikirimkan. Dapat berupa kata-kata, gerakan tubuh
atau ekspresi wajah.
4)
Media/ saluran, alat atau sarana yang dipilih pengirim untuk menyampaikan pesan
pada penerima/ sasaran.
5)
Penerimaan/ sasaran/ decoder, kepada siapa pesan yang ingin disampaikan
tersebut dituju.
6)
Umpan balik/ feed back/ respons, reaksi dari sasaran terhadap pesan yang
disampaikan.
Proses
komunikasi terapeutik dalam perawatan.
1)
Pengkajian (Purwanto, Heri, 1994)
a) Menentukan kemampuan seseorang dalam
proses informasi.
b) Mengevaluasi data tentang status
mental pasien untuk menentukan batas intervensi.
c) Mengevaluasi kemampuan pasien dalam
berkomunikasi secara verbal.
d) Mengobservasi apa yang terjadi pada
pasien tersebut saat ini.
e) Mengidentifikasi tingkat perkembangan
pasien sehingga interaksi yang diharapkan bisa realistik.
f)
Menentukan apakah pasien memperlihatkan sikap verbal dan
nonverbal yang sesuai.
g) Mengkaji tingkat kecemasan pasien
sehingga dapat mengantisifasi intervensi yang dibutuhkan.
2.
Diagnosa keperawatan (Potter & Perry, 1999)
a) Analisa tertulis dari penemuan
pengkajian.
b) Sesi perencanaan tim kesehatan.
c) Diskusi dengan klien dan keluarga
untuk menentukan metoda implementasi.
d) Membuat rujukan.
3.
Rencana tujuan (Purwanto, Heri,1994)
a) Rencana asuhan tertulis (Potter
& Perry, 1999).
b) Membantu pasien untuk memenuhi
kebutuhan sendiri.
c) Membantu pasien agar dapat menerima
pengalaman yang pernah dirasakan.
d) Meningkatkan harga diri pasien.
e) Memberikan support karena adanya
perubahan lingkungan.
f)
Perawat dan pasien sepakat untuk berkomunikasi secara lebih
terbuka.
4.
Implementasi (Purwanto, Heri, 1994)
a) Memperkenalkan diri kepada pasien.
b) Memulai interaksi dangan pasien.
c) Membantu pasien untuk dapat
menggambarkan pengalaman pribadinya.
d) Menganjurkan kepada pasien untuk
dapat mengungkapkan perasaan kebutuhannya.
e) Menggunakan komunikasi untuk
meningkatkan harga diri pasien.
1.
Evaluasi (Purwanto, Heri, 1994)
a) Pasien dapat mengembangkan kemampuan
dalam mengkaji dan memenuhi kebutuhan sendiri.
b) Komunikasi menjadi lebih jelas,
lebih terbuka dan berfokus pada masalah.
c) Membantu menciptakan lingkungan yang
dapat mengurangi tingkat kecemasan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Peranan komunikasi dalam pembangunan dan dalam proses
keperawatan sangatlah penting. Komunikasi yang digunakan dalam proses
keperawatan adalah komunikasi terapeutik, Komunikasi terapeutik adalah suatu
pengalaman bersama antara perawat klien yang bertujuan untuk menyelesaikan
masalah klien yang mempengaruhi perilaku pasien. Hubungan perawat klien yang
terapeutik adalah pengalaman belajar bersama dan pengalaman dengan menggunakan
berbagai tekhnik komunikasi agar perilaku klien berubah ke arah positif
seoptimal mungkin. Untuk melaksanakan komunikasi terapeutik yang efektif
perawat harus mempunyai keterampilan yang cukup dan memahami tentang dirinya.
B.
SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami
bahwa pentingnya komunikasi dalam kehidupan kita sehari – hari terutama dalam
proses pembangunan dan dalam proses keperawatan dan diharapkan juga bagi
pembaca agar dapat menggunakan bahasa yang sesuai dalam pergaulan sehari –
hari, khususnya bagi pembaca yang berprofesi sebagai seorang perawat atau
tenaga medis lainnya agar dapat berkomunikasi yang baik dengan pasien guna
untuk menjalin kersama dengan pasien dalam melakukan proses keperawatan yang
bertujuan untuk kesehatan pasien serta berkomunikasi dengan baik terhadap rekan
kerja dan siapapun yang terdapat di tempat kita bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Malik,
Dedy Djamaluddin, 1991. Komunikasi Pembangunan : Perspek-Depedensia : Bandung.
0 Response to "Proses Pembangunan Komunikasi Dalam Keperawatan - makalah"
Posting Komentar